Kamis, 18 Oktober 2012

Muhajirin Kecil, Rafi’ bin Khadij RA

Biasanya apabila Rasulullah SAW memberangkatkan pasukan untuk berperang, beliau akan mengantar pasukan itu sampai keluar kota Madinah dan melepasnya dengan pelepasan terakhir. Sebelumnya beliau akan meneliti perlengkapan pasukan dan memperbaikinya jika ada yang kurang. Rasulullah juga akan memulangkan anak-anak yang ingin ikut berperang.


Demikian pula ketika perang Uhud, Rasulullah SAW juga ikut menyertai peperangan. Sebelumnya, beliau telah mengembalikan anak-anak yang ingin ikut berperang diantaranya adalah : Abdullah bin Umar, Zaid bin Sabit, Usamah bin Zaid, Zaid bin Arqam, Barra bin ‘Azib, Amr bin Hizam, Usaid bin Uzhair, Urabah bin Aus, Abu Said Al-Khudri, Samurah bin Jundub dan Rafi’ bin Khadij. Rata-rata mereka berusia 13-24 tahun. Tetapi anak-anak itu merasa kecewa karena tidak diizinkan untuk ikut berperang. Ketika mereka disuruh kembali oleh Rasulullah SAW, Khadij ayah dari Rafi’ mendatangi Rasulullah dan berkata, “Anakku ini pandai memanah.” Karena semangatnya yang begitu tinggi untuk ikut berperang, maka Rafi’ berjinjit agar terlihat lebih tinggi. Akhirnya Rasulullah mengizinkannya untuk ikut berperang.

Ketika malam tiba, Rasulullah mengatur orang-orang untuk menjaga pasukan yang sedang tidur, juga memerintahkan 50 orang agar menjaga seluruh pasukan. Mereka adalah sukarelawan yang bersedia menjaga pasukan.

Kemudian Rasulullah bertanya kepada para sahabat, “Siapakah diantara kalian yang bersedia menjagaku?”
Maka berdirilah salah seorang sahabat, kemudian Nabi bertanya, “Siapa namamu?”
Sahabat itu menjawab, “Namaku Dzakwan.”
“Baik duduklah kamu.” kata Rasulullah.
Rasulullah pun bertanya lagi, “Siapa diantara kalian yang bersedia menjagaku malam ini?”
Berdirilah salah seorang sahabat.
Rasulullah bertanya lagi, “Siapa namamu?”
“Namaku Abu Saba.” jawab orang itu.
Rasulullah pun berkata, “Baik duduklah kamu.”
Kemudian Rasulullah bertanya lagi, “Siapa yang bersedia menjagaku malam ini?”
Seorang sahabat berdiri.
Nabi bertanya, “Siapa namamu?”
“Namaku Rafi’” jawab orang itu.
Rasulullah berkata, “Duduklah kamu.”

Setelah itu Rasulullah memanggil ketiga sukarelawan tadi, tetapi yang tampil hanya satu orang.
Rasulullah bertanya, “Kemana dua sahabatmu yang lain?”
“Wahai Rasulullah, ketiga orang itu adalah aku yang berdiri terus-menerus.” jawab orang itu.
Rasulullah mendoakannya dan menyuruhnya untuk berjaga di depan tenda Rasulullah selama satu malam penuh.

Keesokan paginya ketika perang berkecamuk, dada Rafi’ tertembus anak panah musuh, lalu anak panah tersebut ditarik keluar. Tetapi sayangnya, ada sedikit anak panah yang tertinggal didadanya sehingga menimbulkan luka yang berat. Kemudian luka itu kambuh pada usia tua dan ia meninggal karena luka itu.


Sumber : Fadhilah a’mal

Lapang Dada


Dari Abu Hurairah , dari Rasulullah ia berkata, “… Allah tidak akan menambah kepada orang yang pemaaf kecuali kemuliaan. Tidaklah seseorang yang merendahkan diri kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim)

Kenikmatan member maaf lebih indah daripada meminta maaf. Kenikmatan memberi maaf akan diikuti dengan penyesalan sesusai berbuat khilaf.

Kita diingatkan dengan sebuah perkataan mulia dari seorang sahabat tersohor, Umar bin Khattab ra, beliau menuturkan, “Sebaik-baik member maaf adalah member maaf ketika mampu dan sebaik-baik kesederhanaan adalah kesederhanaan ketika mampu.”

Selain ungkapan para sahabat terkait dengan pemberian maaf ini, para generasi terdahulu lainnya ikut meyumbangkan pesan-pesan yang bermakna sangat dalam. Dengan susunan kata-kata yang sederhana, namun didalamnya mengandung hikmah yang luar biasa. Adalah Said Ibnu Musayyid, beliau menuturkan, “Seorang pemimpin yang member maaf lebih baik daripada memberikan hukuman.”

Ketika angan dan tubuh bebas bergerak ditambah dengan keleluasaan untuk memberikan maaf kepada orang lain, kelebihan ini tentu akan membuahkan ketenangan hati. Lain halnya, bila dendam kesumat membara dalam dada, ditambah lagi angan yang tak kunjung terwujud, tentu akan menambah sesak dan sempitnya hati.

Simaklah penuturan Al-Makmun, beliau berucap, “aku menginginkan supaya orang-orang yang berbuat dosa mengetahui jalan pikiranku dalam member maaf supaya jiwa mereka selamat.”

Al-Makmun, pernah dihadapkan kepada seorang yang telah berbuat jahat. Lalu Al-Makmun bertanya kepadanya, “Apakah kamu orang yang telah berbuat ini dan itu?” Dia menjawab, “Benar wahai Amirul Mukminin, akulah orang yang telah melakukan ini dan itu, tapi aku bergantung kepada maafmu.” Lalu Al-Makmun memaafkannya dan mudahlah jalannya.

“Wahai Rabbku, jikalau bukan karena cinta-Mu untuk memberi ampunan kepadaku, tidaklah orang yang menentang-Mu akan menunda diri dalam meminta ampunan-Mu. Dan jikalau bukan karena maaf dan kemuliaan-Mu, niscaya seorang hamba tidak akan masuk surge-Mu. Maka anugerahkanlah kepada kami maaf dan kemuliaan-Mu, wahai Dzat pemberi maaf dan pemberi nikmat.”

Sumber : SWARAQURAN Edisi No. 3 Tahun Ke-6/September 2006

Fanatisme

Mengapa umat Islam terjebak dalam sekat fanatisme? Apa dampak dari sikap terhadap penerapan Islam yang syumul (sempurna)? Lalu, apa peran berbagai pergerakan dakwah dalam bingkai iqomatud dien?

Inilah berbagai pertanyaan yang senantiasa memenuhi pikiran kita, disaat banyaknya kelompok Islam. Masing-masing membawa bendera kebenaran, dengan klaim yang satu sebagai ahlu sunah wal jama’ah, namun dengan anggapan selainnya salah.

Mizan kebenaran menjadi bias, saat masing-masing kelompok tidak mampu membedakan masalah yang asal (yang tidak ada perselisihan di kalangan para ulama) dan masalah yang furu’ (yang memungkinkan perbedaan pendapat). Mereka juga tidak mampu membedakan, antara ikhtilaf (perbedaan) dan iftiraq (perpecahan).

Hal ini semakin ironis, saat umat terjebak pada kultus dan figuritas. Akibatnya, benar dan salah diukur berdasarkan perkataan sang figur, bukan standar baku Al Qur’an dan As Sunah.
Hakekatnya ikhtilaf (perbedaan) adalah sunatullah. Allah membolehkan perbedaan sepanjang tidak mengarah pada iftiraq (perpecahan). Namun perbedaan menjadi wilayah perpecahan manakala terjebak dalam sikap fanatisme.Fanatisme (ashobiyah) menjadi pintu perpecahan, permusuhan, dan munculnya klaim benar dan salah atas dasar fanatisme.

Dalam pergerakan Islam, sikap fanatisme terhadap kelompok menjadikan seseorang terjebak pada pemahaman yang sempit. Akibatnya, kebenaran hanya datang dari kelompoknya, sementara selainnya salah bahkan pada tingkatan sesat. Akibatnya, sikapnya pun berbeda layaknya bersikap terhadap musuh-musuh Allah. Akibat jauhnya, tanpa mampu membedakan kawan dan lawan. Semuanya sama, selain kelompoknya adalah sesat, tak berhak mendapatkan perwalian dan bahkan sebagai musuh dalam penegakan panji-panji sunah. Dalam konteks pergerakan Islam, proses iqomatud dien akan terhenti, jikap sikap fanatisme terkungkung pada kelompok dan figur. Umat mengalami kemandegan dan bahkan kemunduran fatal yang berakibat melemahnya umat Islam dan semakin kokohnya orang-orang kafir.

Fanatisme adalah salah satu gerbong syaitan dalam melumpuhkan Islam. Gerbong-gerbong lain akan mengikuti seiring dengan berjalannya gerbong fanatisme ini. Akal tak berfungsi. Kebenaran terjebak dalam klaim kelompok. Masing-masing tercerai berai. Penuh kasak kusuk, dengan pandangan curiga, pada kondisi puncak mereka bersama-sama merobohkan bangunan Islam itu sendiri. Naudzubillah min dzalik. Akankah fanatisme mengalahkan mizan kebenaran Al Qur’an dan As Sunah?

Sumber : An-Najah No. 02/III/Okotober 2007